Perubahan Iklim di Indonesia
Emisi gas CO2 telah memicu peningkatan suhu udara di muka bumi, termasuk di wilayah Indonesia. Menurut BMKG telah terjadi peningkatan suhu udara 0,03 °C per tahun di berbagai wilayah Indonesia berdasarkan data pengamatan selama 37 tahun dari tahun 1981 hingga 2018 (Gambar 1). Tren peningkatan suhu udara terjadi secara konsisten pada suhu minimum, suhu rata-rata dan suhu maksimum.
Suhu udara yang lebih tinggi menciptakan atmosfer yang dapat mengumpulkan, menahan, dan melepaskan lebih banyak air sehingga area basah menjadi lebih basah dan area kering menjadi lebih kering. Mekanisme ini dalam jangka pendek mengubah pola cuaca, dalam jangka panjang mendorong perubahan iklim serta memicu kejadian ekstrim seperti hujan lebat, kekeringan panjang, angin topan.
Di Indonesia sendiri, setiap wilayah mengalami perubahan intensitas hujan yang berbeda-beda. Menurut hasil analisis BMKG terhadap Perubahan Normal Curah Hujan, Pulau Jawa, sebagian besar Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi mengalami peningkatan intensitas hujan. Sebaliknya Pulau Papua dan Maluku mengalami penurunan intensitas hujan (Gambar 2). Perubahan Normal Curah Hujan merupakan deviasi curah hujan 10 tahun terakhir terhadap curah hujan selama 30 tahun (1980-2010).
Berdasarkan data tersebut, sejauh mana perubahan iklim berpengaruh terhadap kualitas air baku dan system operasi IPA?
Dampak Terhadap Kualitas Air Baku
Perubahan iklim mengubah pola hujan sehingga berdampak langsung terhadap jumlah air permukaan. Perubahan debit saat banjir maupun kekeringan akan mempengaruhi kondisi kualitas air permukaan. Banjir dapat meningkatkan kadar turbiditas dan bahan organic di badan air. Debit dan kecepatan aliran yang meningkat saat banjir akan mengerosi tanah dan membawa bahan-bahan organic di permukaan ke dalam badan air. Sebuah studi di wilayah timur Pegunungan Ore, Jerman melaporkan hujan ekstrim di bulan Agustus 2002 selama 2 hari dengan intensitas 400 mm menyebabkan peningkatan turbiditas dan kadar organik karbon (DOC, SAC254) pada air permukaan (Slavik et al, 2009). Bahkan peningkatan turbiditas dan kadar organik masih terjadi hingga bulan Januari 2003 (Gambar 3).
Sementara saat kekeringan, debit aliran pada badan air akan berkurang. Laju dilusi menurun, namun sebaliknya kandungan pencemar pada badan air meningkat. Jika badan air menerima air limbah domestic maka kadar organicnya akan meningkat. Hasil studi di wilayah Britanny, Perancis menunjukkan aliran rendah di musim kering menyebabkan peningkatan kadar organic karbon pada badan air dan menurunkan kadar nitrat, namun tidak berpengaruh terhadap turbiditas (Gambar 4).
Meningkatnya kandungan bahan organic pada air permukaan saat banjir maupun kekeringan akan menurunkan kadar DO dan meningkatkan kadar BOD. Hal ini disebabkan mikroorganisme membutuhkan oksigen yang lebih banyak untuk mengurai bahan organic di dalam air.
Selain debit aliran, penurunan kualitas air juga dipengaruhi oleh peningkatan temperature air. Umumnya temperature air permukaan ± 1-3°C dari temperature udara sehingga emisi gas CO2 yang memicu peningkatan temperature udara turut meningkatkan temperature air permukaan. Kenaikan temperature akan mempercepat laju reaksi kimia dan pembentukan senyawa pencemar sehingga kualitas air menurun. Kenaikan temperature air juga mendorong pertumbuhan mikroorganisme, alga dan bakteri pathogen yang berbahaya bagi ekosistem air dan kesehatan manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perubahan iklim berdampak terhadap kualitas air permukaan.
Dampak terhadap IPA
Air permukaan merupakan sumber air baku bagi sebagian besar PDAM di Indonesia. Penurunan kualitas air baku sebagai dampak dari perubahan iklim berpotensi menimbulkan gangguan terhadap operasional PDAM dan layanan air perpipaan ke konsumen. Penurunan debit air baku akan mengganggu pasokan aliran air ke pelanggan. Sementara penurunan kualitas air baku akan meningkatkan biaya pengolahan air bersih antara lain dari peningkatan dosis koagulan untuk menurunkan kadar organic, pencucian atau penggantian membrane filtrasi yang lebih sering untuk membersihkan mikroorganisme dan alga yang jumlahnya meningkat, peningkatan dosis desinfektan untuk membunuh bakteri pathogen, dan lain-lain.
Untuk mempertahankan tingkat layanan air perpipaan, system operasional IPA perlu beradaptasi dengan perubahan iklim. Pemilihan strategi adaptasi didasarkan pada penilaian risiko yang memperhitungkan potensi bahaya, tingkat kerentanan serta kemampuan system atau pihak yang terkena dampak untuk mengelola potensi bahaya tersebut. Salah satu upaya adaptasi untuk mengantisipasi penurunan kualitas air baku adalah penyesuaian system operasi IPA. Upaya ini dipilih apabila kapasitas IPA masih mampu mengakomodir tingkat penurunan kualitas air baku. Namun jika penurunan kualitas air baku melampaui kapasitas IPA maka adaptasi dilakukan dengan peningkatan teknologi pengolahan atau pembangunan IPA baru.